Senin, 11 Maret 2013

1000 Yen untuk sebuah kursi di kereta

Teringat cerita 4 tahun yang lalu waktu saya, #suamijepang dan orang tua saya berkunjung ke rumah mertua

Hari itu kami sampai di Jepang, tepatnya di KANSAI International Airport.
Terasa sekali perbedaan dengan ketika kami tiba di bandara Soekarno-Hatta... dimana kedatangan kami telah disambut oleh para porter yang dengan "senang hati" membawa seluruh bawaan kami, serta supir yang telah menyambut kami tepat di depan pintu keluar..

Di Jepang, semua harus dilakukan sendiri, tidak ada porter yang membantu kami, semua barang bawaan kami harus urus sendiri... Beruntung di Jepang terdapat beberapa perusahaan pengiriman barang, sehingga kami tidak perlu menggotong bawaan-bawaan yang berat.. Cukup membawa barang yang diperlukan untuk keperluan ± 1 hari, karena barang yang berat dan besar akan tiba di tempat yang kita suka keesokan harinya. 
Masalah kirim mengirim barang selesai, berikutnya adalah masalah transportasi.. Tanpa siapapun yang "bersedia" menjemput kami dengan mobil, kami harus "bergerak" menggunakan kereta seperti juga sebagian besar penduduk Jepang.
Berhubung mertua tinggal di daerah yang minor dan terpencil yaitu di Kumano, Mie perfecture, memang urusan kereta2an ini rada sedikit ribet.
Dari Kansai International Airport-Kumano, memakan waktu sekitar 4 jam, itupun tidak ada kereta langsung, kami harus ganti kereta lokal 1-2 kali, dan 1 kali kereta ekspress.
Kereta lokal, berati tidak ada "reserved seat", dan berarti siapa cepat dia dapat.. Yang artinya kalo telat ya nggak dapat tempat duduk...;p
Sebenarnya, hal ini bukan merupakan masalah, kalo yang berpergian hanya aku dan Yacchin saja.. 
Tapi kali ini mama dan bapak turut serta.. Dan apa yang aku khawatirkan terjadi. Dalam kereta lokal menuju Wakayama, kami tidak bisa langsung dapat duduk, kami sempat harus berdiri... 
Dan yang membuatku sedikit kesal adalah, ada beberapa anak muda yang sehat walafiat (bahkan ada pemuda tanggung..*gak jelas sih pemuda tanggung artinya apa??*) yang tenang-tenang aja sok cuek duduk bersandar di bangku kereta sementara di depannya ada bapak dan mama yang notabenenya sudah tua, dan dilihat dari sudut manapun lebih pantas dan berhak merasakan kenyamanan bangku kereta..

Sambil misuh-misuh, aku teringat beberapa tahun yang lalu, ketika masih tinggal di Jepang... Pemandangan seperti ini sering sekali aku jumpai baik dalam kereta maupun bis umum. Para orang tua di Jepang dan guru2ku selalu mengeluhkan begitu egoisnya sebagian besar anak muda di Jepang yang tidak mau memberikan tempat duduknya kepada orang yang lebih tua, anak-anak bahkan orang hamil..
Bahkan 優先席(yuusen seki)* alias priority seat yang memang tempat duduk dengan memprioritaskan orang-orang yang membutuhkan, tidak jarang diduduki oleh anak-anak muda yang dilihat secara fisik tidak membutuhkannya. Tadinya, aku kira hal seperti ini hanya terjadi di Tokyo dan sekitarnya ato hanya di kota-kota besar saja.. Tapi, ternyata di daerah pun sama saja, ya.. Walau aku yakin tidak semua anak muda Jepang seperti ini!

Ada satu pengalaman, ketika aku pulang kerja dari Shinjuku-Saitama menggunakan Saikyo line, di jam yang lumayan padat. Kereta yang kunaiki memang lumayan penuh, tapi aku beruntung mendapatkan tempat duduk sehingga aku bisa sedikit bersantai menghilangkan kepenatan setelah kerja. 
Sekitar 2 stasiun berikutnya, ada seorang nenek naik, dan secara otomatis, aku langsung memberikan tempat dudukku kepada nenek tsb. 
Entah beberapa stasiun sudah terlewati ketika nenek tsb turun.. Beliau "mengembalikan" tempat duduk tsb sambil membungkuk-membungkuk mengucapkakan "arigatou gozaimasu"!
Aku duduk kembali di kursi itu, dan tiba-tiba kakek2 di sebelahku mengangsurkan lembaran 1000 yen kepadaku... "arigatou gozaimasu, kore kimochi dake"... *terima kasih banyak, ini hanya sekedar rasa terima kasih saya*..
Kemudian keluarlah cerita dari mulut sang kakek, bahwa apa yang kulakukan tadi sudah lama tidak dilihat dan dirasakannya, sudah sedikit sekali anak muda di Jepang yang punya kesadaran untuk memberikan kursi kereta kepada orang yang lebih membutuhkan...Sang kakek merasa senang, karena ternyata masih ada orang yang "iling" sama wong tuo... Hehehe

Menurutku, apa yang kulakukan bukanlah sesuatu hal yang spesial, tapi lebih merupakan kewajiban... Ingat kan, waktu belajar di SD memakai PMP warna kuning yang sampul depannya burung garuda, pernah diajarkan untuk memberikan kursi di kendaraan umum, untuk orang yang lebih membutuhkannya dari kita-kita yang segar bugar ini..Memang siapapun pasti capek harus berdiri dan berdesakan di kereta.. Tapi, kalo kita yang anak muda saja capek bagaimana dengan orang yang sudah tua, ya ??
Duh, Nihonjin* apa harus belajar pake buku PMP itu dulu ya... hehehe

*Yuusen seki (優先席) alias priority seat, adalah tempat duduk yang dipriortaskan untuk dipakai oleh orang yang benar membutuhkan seperti orang cacat, orang tua, orang hamil dll
Biasanya, dalam satu gerbong, priority seat ini berlokasi di ujung kiri dan kanan (kapasitas 6 orang untuk tiap ujungnya)
*Nihonjin (日本人) Orang Jepang

Sabtu, 23 Februari 2013

Terinspirasi di Kelas Inspirasi

Sebenarnya cerita ini pengennya langsung ditulis begitu selesai Kelas Inspirasi,
tapi berhubung sesuatu dan lain hal tidak sempat menulis..
Tapi, better late than never,kan... Jadi walopun telat saya mau menuliksan pengalaman Kelas Inspirasi

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga, 20 Februari 2013
Pagi-pagi buat menuju SDN Petajen Barat 03 dengan rasa semangat sekaligus dag-dig-dug...
Pagi K-24, kelompok kami diawali dengan diskusi terakhir pembagian kelas...
Di samping K-24 yang terdiri dari saya (penerjemah), Puri (sang Instruktur senam  selam), Afit (tukang masak dan pemilik warung yang kondang itu), Didit (web designer), Iffa (konsultan), Anita (change management XL), Felix aka pak Lurah (Insyinyur listrik....;p) dan pak Alwin (pak direkturn Antam), kami kedatangan juga Fitria sang fasilitator yang baik hati dan manis, serta pak Hikmat dari Indonesia Mengajar.

Bismillah

'Perjuangan' kami dimulai dari jam pelajaran ke-2, yaitu tepatnya di jam 07:05. Buat saya sendiri, hari yang begitu berkesan ini dimulai dengan mengajar di kelas 2A yang terletak di lantai bawah.
Sebenarnya saya tidak punya lesson plan khusus untuk menjelaskan pekerjaan saya sebagai penerjemah... Yang ingin saya sampaikan supaya mereka mengerti pekerjaan penerjemah itu apa adalah dengan cara
menunjukkan di dunia itu ada berbagai macam negara di dunia (sambil bawa2 globe) dan begitu banyak bahasa di dunia,sehingga kalau orang-orang antar negara bertemu dan mau ngobrol, walau bahasa yang digunakan berbeda mereka tetap bisa ngobrol dengan bantuan penerjemah.
Untuk lebih kongkrit, saya menghadirkan 'wawancara' DORAEMON dengan JOKOWI , 'Doraemon' bertanya pada dalam bahasa Jepang saya terjemahkan ke 'Jokowi'. Kemudian jawaban 'Jokowi' menjawab dalam bahasa Indonesia dan saya terjemahkan ke 'Doraemon' .
Senang dan terharu ketika anak-anak memberi tepuk tangan dan berteriak senang dengan 'pertunjukkan' saya itu.

Kemudian saya hadirkan 'Doraemon' dan 'Nobita' dalam kelas dan minta mereka untuk bertanya kepada kedua tamu dari Jepang tersebut... Pertanyaan dari anak-anak itu juga saya terjemahkan ke bahasa Jepang, jawaban dari 'Doraemon' dan 'Nobita' dalam bahasa Jepang saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk mereka
Anak-anak itu dengan daya imajinasinya dan tampangnya yang serius melontarkan aneka pertanyaan yang membuat saya tergelak

'Doraemon kapan pulang ke Jepang'

'Doraemon makan nasi nggak sih ? kok makannya Dorayaki doang ?'

'Tinggalnya di mana sih ? Di sana banjir nggak ? Macet nggak ?' 

'Doraemon nggak bisa bahasa lain selain Jepang ? bahasa Indonesia ? bahasa Jawa?'

'Nobita kenapa pakai kacamata ? emangnya minus berapa ?'

'Sekarang kelas berapa ? sama ya dengan kita masih SD' 

'Nobita potong rambutnya di mana ?'

Dan aneka pertanyaan lainnya yang membuat saya tetawa dengan kepolosan mereka...
Dan sangat terkesan dengan kebebasan mereka untuk berimajinasi dan berpikir tanpa batasan.

Saya juga sempat mengajarkan tentang ucapan salam sederhana dalam bahasa Jepang dan di beberapa kelas  juga mengajarkan lagu doraemon dalam bahasa Jepang. Di beberapa kelas terbentuklah boyband dan girlband yang berani maju ke depan kelas untuk nyanyi lagu Dorameon itu...

 'anna koto iina.. dekitara ii na'...boyband kelas 3
Terkesan dengan keberanian dan keceriaan mereka yang antusias belajar bahasa dan lagu asing yang sebenarnya sudah akrab dengan telinga mereka... 

Ketika saya tanyakan cerita mereka, banyak yang menyebutkan guru, dokter, tentara, pemain sepak bola, masuk Timnas, pemain basket, desainer baju, nahkoda kapal dan lain-lain...

Total hari itu saya mengajar di 8 kelas mulai dari kelas 1-6 (kelas 5&6 masing-masing 2 kelas). 
Satu sesi berlangsung selama kurang lebih 35 menit... 35 menitX8 sesi = cukup bikin capek, tapi senang dan PUAS!! 

Untuk acara closing kami,K-24 dan para guru-guru seluruh murid berkumpul di lapangan, ada sedikit game penutupan, sepatah dua patah kata dari perwakilan K-24 dan pihak sekolah, pemberian kenang-kenangan serta ini dia acara 'GONG'nya... kami meminta semua anak untuk menuliskan cita-cita mereka di secarik kartu cita-cita dan menggantungkannya di pohon Inspirasi... Dengan harapan cita-cita yang mereka tuliskan hari itu bisa terus terpupuk dan tumbuh bersama dengan pohon Inspirasi...
Gantungkan kartu cita2mu di pohon inspirasi


Sofia, anak kelas 3 yang cita2nya jadi penerjemah
















Satu hari  ini sangat berarti untuk saya... Satu hari di mana saya   bisa langsung berinteraksi dengan dunia pendidikan di Indonesia... Bisa langsung memandang wajah-wajah generasi penerus bangsa... Bangga dengan semua anak-anak di sekolah ini.. Kagum dengan dedikasi para guru di sekolah ini... Hari itu saya hadir di sana bukan untuk menginspirasi tapi justru untuk terinspirasi untuk terus bisa berbuat sesuatu dan berkontribusi. Bangga bisa menjadi bagian dari Kelas Inspirasi.

Satu kado spesial dari Kelas Inspirasi adalah teman-teman K-24 yang menurut saya sangat hebat dan saling menginspirasi satu sama lain..
Ki-ka : Felix, Didit, pohon Inspirasi, Afit, Vita, Anita, Iffa, plus Puri yang ndodok









Kelas Inspirasi.. Belajar kembali ke niat

pose dengan keluarga 6B

Tantangan dari kelas Inspirasi adalah 'berani mengambil cuti' buat saya yang kerja sebagai freelance, hal ini bukan suatu yang susah.. Saya hanya perlu tidak mengambil tawaran kerja di tanggal tersebut, gak perlu repot-repot mengajukan cuti di tanggal 20 Februari.
Ndilalah, di hari pengumuman Kelas Inspirasi tanggal 31 Januari, saya mendapat tawaran pekerejaan yang sangat BESAR untuk tanggal 20 Februari di jam yang sama dengan jam pelaksanaan kelas Inspirasi.
Kenapa saya bilang ini pekerjaan besar ? Karena tawaran ini merupakan jenis pekerjaan yang belum pernah saya lakukan, banyak tantangan baru di pekerjaan ini, ditambah tawaran ini datang langsung dari sebuah perusahaan yang sangat besar di Jepang.

Dengan pertimbangan kalau tawaran yang BESAR ini saya ambil, pasti jadi 'torehan' yang berarti untuk orang yang berkarir sebagai freelance seperti saya, sempat tergoda juga untuk melewatkan kesempatan dari kelas Inspirasi dan bekerja di tanggal 20 Februari tsb.

Tapi, setelah membuka kembali kelasinspirasi saya jadi merenung, sebenarnya apa niat saya untuk ikutan kelas inspirasi ini ? kenapa dulu saya mau repot-repot menuliskan ini-itu ketika mendaftar kelas inspirasi.
Ya, mungkin seperti sebagian besar dari kita, saya juga turut 'menyumbang' pendidikan di Indonesia dalam bentuk dana... Program orang tua asuh, sumbangan ini-itu, donasi ini-itu... Semuanya pernah saya lakukan dengan niat ingin memajukan pendidikan Indonesia...

Tapi..
apa pernah saya berinteraksi dengan anak-anak itu ?
Dengan sekolah ?
Dengan guru-guru dan kepala sekolahnya ? 

Semua jawabannya TIDAK... yang pernah saya sumbang hanya dalam bentuk materi, belum pernah dalam bentuk 'tenaga' dan 'kehadiran saya'

NIAT
Itulah yang menjadi pertimbangan saya... Segala sesuatu itu harus dikembalikan ke niat awal kita, ke tujuan semula kita
Niat saya memang menyumbangkan kehadiran saya, berarti nggak boleh nggak saya harus hadir di kelas Inspirasi, kehadiran saya nggak boleh digantikan dalam bentuk materi apalagi hanya sekedar doa supaya Kelas Inspirasi berjalan lancar.
Dan tujuan saya satu lagi adalah bukan memberikan inspirasi tapi justru pengen dapat inspirasi dari anak-anak SD yang masih sangat polos, tanpa 'filter' tanpa prasangka.. Hal-hal yang hilang seiring dengan bertambahnya usia kita.

Akhirnya, setelah perenungan sehari semalam, Bismillah saya menolak pekerjaan yang sangat menggiurkan itu dengan alasan saya ingin ikut kelas Inspirasi. Walau klien tsb tampaknya kecewa dengan jawaban saya, tapi sepertinya beliau bisa memahami saya.
Bahkan beberapa hari kemudian, beliau ikut memberikan usulan dialog yang bisa saya pakai waktu memperagakan wawancara Doraemon dan Jokowi (profesi penerjemah saya jelaskan dengan wawancara imajiner Doraemon dan Jokowi).. Bentuk dukungan yang berarti buat saya.

Awal minggu ini klien tsb kembali menghubungi saya, project yang batal di tanggal 20 Februari tsb, tetap akan dilaksanakan di bulan Maret. Dan beliau memberikan kebebasan pada saya untuk menentukan waktunya kapan... Ya, terserah saya mau tanggal berapa di bulan Maret. Saya yang memberikan jasa, tapi saya diberi kebabasan untuk tentukan tanggal, nanti beliau yang akan mengurus jadwal internalnya.
 .. .....Alhamdulillah
Rejeki memang tak lari ke mana, ya...

Ternyata, kesungguhan saya untuk kelas Inspirasi ini diuji...
 'Ujian' ternyata bisa berupa harus memilih satu di antara dua hal yang sangat kita inginkan....
Dan ketika kita harus memutuskan salah satu di antaranya, kembalikanlah semuanya ke niat awal...
Karena sesuatu yang datangnya dari niat dari hati tidak akan pernah salah...
Dan pasti akan menuntun kita ke arah yang benar... ke arah kita yang lebih baik..

Dan! kalaupun tawaran pekerjaan itu tidak ada gantinya, saya tetap akan bilang bahwa saya bangga lebih memilih Kelas Inspirasi ketimbang memilih tawaran kerjaan.
Karena dengan ikut Kelas Inspirasi saya mendapatkan lebih dari yang saya berikan,
Terima Kasih Kelas Inspirasi!!
.... (berlanjut ke cerita Hari H kelas Inspirasi di postingan berikut)


Rabu, 23 Januari 2013

Sepenggal cerita dari bawah kolong jembatan

Banjir minggu lalu yang ternyata juga diberitakan di Jepang, membuat beberapa klien menanyakan kabar saya untuk memastikan keadaan baik-baik saja.
Berawal dari situ berceritalah saya, kalau saya ingin ikutan baksos di hari minggu lalu, salah seorang klien saya langsung menyatakam tertarik untuk ikut.
Tapi, berhubung hari minggu itu sikon ndak memungkinkan, akhirnya saya buatkan waktu khusus "tour" ke beberapa posko pengungsian di selasa pagi kemarin.

Pemberhentian kami pertama hari itu adalah pengungsian di bawah jembatan kampung melayu, yang memang relatif paling dekat dengan tempat klien saya menginap.
Untungnya hujan yang turun sejak pagi sudah berhenti, sehingga kami bisa bebas turun mobil menghampiri lokasi pengungsian yang letaknya di bawah flyover kampung melayu.

Hati ini langsung 'nyes' miris melihat kondisi lokasi pengungsian itu yang 'beratapkan' flyover, beralaskan terpal seadanya, tanpa naungan 'dinding' tenda atau sejenisnya. Terbayang jika turun hujan tentunya tidak sepenuhnya terlindungi dari air hujan.
Pengungsi di sana adalah para warga pemulung yang bermukim di bawah kolong jembatan kampung melayu.
Ada beberapa lapak pengungsian di sana yang saat kami datang sekitar pukul 8, kebanyakan berisi wanita dan anak-anak... Kebanyakan dari wanita itu sedang meriung ngobrol, beberapa terlihat sedang bergantian masak indomie, beberapa sedang menikmati indomie itu... Ada juga yang sedang bermain dengan anaknya atau sedang memberikan ASI pada anaknya.

Adalah bu Gemi yang menyambut kedatangan kami dengan senyum riangnya,nmenceritakan kehidupannya selama di pengungsian ini, bagaimana dia belum bisa kembali ke rumah karena walaupun air sudah surut namun masih menyisakan peer untuk membersihkan lumpur yang masih tersisa hingga sedengkul.
Bu Gemi yang (menurut) dia berusia 40tahun, menikah pertama kali di usia 12tahun, sudah pernah menikah 3kali, dan memiliki 2orang putra. Bu Gemi kemudian mengajak kami untuk melihat rumahnya, yang berada di bawah kolong jembatan kampung melayu.
Berhati-hati kami menyisir jalan menurun yang masih sedikit licin karena lumpur untuk menuju deretan pemukiman yang tidak tampak jelas karena tidak ada sedikitpun bantuan penerangan.
Masih dengan senyum cerahnya bu Gemi menyebutkan siapa-siapa saja yang tinggal di balik pintu-pintu rumah petak itu....
"itu kamar oom saya", "kalau itu kamar kakak saya" "yang itu keponakan saya" "kalau kamar saya yang itu" dengan semangat bu Gemi menunjukkan pintu-pintu yang sudah tampak kusam dan masih tergenang oleh lumpur.

Kami pun mengobrol sejenak dalam remang-remang... Mengalirlah cerita hidup dari mulut bu Gemi, mulut yang selalu menyungingkan senyum tulus.
Bu Gemi berkisah sebenarny dulu dia bermukim di daerah Jawa Tengah, satu kejadianlah yang membuatnya datang ke Jakarta. Putra bungsunya yang sekarang berusia 18tahun menderita epilepsi dan menjadi objek bully-ing oleh teman-temannya. Suatu hari, anaknya dijedotkan ke tembok hingga tidak bisa berjalan.Lumpuh cacat menurut istilah bu Gemi. Prihatin akan kondisi anaknya, ingin menyembuhkan anaknya di 'dukun jawa',tapi dengan penghasilan suaminya dulu yang berprofesi sebagai pemetik tebu tidak cukup untuk biaya pengobatan 'dukun jawa'.
Bulatlah tekad merekan untuk mengadu nasib di Jakarta, kebetulan mereka memiliki oom yang bisa langsung memberikan pekerjaan untuk mereka, yaitu pemulung.
Sebelumnya bu Gemi pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga, namun akhirnya memutuskan untuk bersama-sama suami menjadi pemulung.
Bertahun-tahun bekerja membanting tulang bersimbah peluh, sedikit demi sedikit kondisi sang putra membaik dan akhirnya bisa berjalan, walau tangannya masih sedikit 'sakit' seperti orang dipelintir bentuknya. Dengan kondisi begitu pun, anaknya kini sudah membantu mengumpulkan sampah rongsokan untuk kemudian dijualnya kembali. Sesuatu anugrah... Suatu yang sangat disyukuri oleh orang tuanya.
Dari cerita saya tahu kalau sampah-sampah yang mereka punguti ini, mereka dihargai
- rp. 4000/kilo untuk kemasan air mineral
- rp. 1000/kilo untuk sampah plastik seperti ember
- rp. 1500/kilo untuk kardus
Dll.....


Iseng saya bertanya, dengan kesembuhan anaknya ini apakah mereka terfikir untuk kembali ke Jawa....
Bu Gemi menjawab dengan ramah dan saya mendeteksi ada rasa bangga di suaranya
"Di sini kan ibu kerja, berguna dapat uang.... Dan kerjaan ibu ini kan halal... Di sini enak bisa mulung trus dapat uang....biar segini uangnya cukuplah untuk hidup"
Ya,saya yakin tidak salah saya merasakan nada bangga dari suaranya itu.
Jawaban yang membuat saya tertampar bolak balik....
Banyak sekali saya rasa orang yang dengan penampilan rapi kinclong merasa tidak terlalu pede dengan profesinya... Sejujurnya terkadang saya merasa minder untuk menyebutkan profesi saya CUMA sebagai penerjemah terutama di depan orang-orang yang punya profesi 'menyilaukan' tapi ibu ini dibalik penampilannya yang sederhana dengan bangga menyebutkan profesi dirinya. Bangga menunjukkan dirinya bahwa apa yang dikerjakannya adalah HALAL dan bisa menghasilkan uang.
Dan dengan penghasilan yang mungkin buat sebagian kita jumlahnya jauh lebih kecil dari kebutuhan nongkrong-nongkrong di coffee shop, dia dengan yakin mengatakan bahwa itu sudah cukup memenuhi kebutuhannya.
Membuat saya yang beberapa waktu lalu sempat merasa kecewa tentang rate penerjemah merasa seperti ditampar bolak balik. Menyadari bahwa betapa masih 'cemennya' saya sebagai manusia, baru urusan begitu saja udah kecewa!


❤Saya yakin semua kejadian itu pasti sudah di atur oleh yang Ilahi... Kenapa saya tidak mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan, kenapa saya akhirnya tergerak mengantarkan klien saya keliling tempat pengungsian banjir... Menurut saya semua itu sudah didesain karena hari itu saya akan bertemu ibu Gemi yang 'menampar' saya bolak balik dengan senyuman dan ceritanya yang nan ceria dan tanpa beban hidup.... Terima kasih,bu!!!