Kamis, 01 Maret 2012

(bukan) cerita #memetwit

Cerita ini mungkin emang (bukan) cerita #memetwit... tapi lumayan mencekam untuk ukuran saya yang terkenal penakut.
Buat yang sudah mengenal saya sejak jaman saya masih piyik dulu, pasti tau banget deh kalo saya itu orangnya super duper penakut! 
Bahkan sampai duduk di bangku kuliah saking penakutnya walopun saya punya kamar sendiri di lantai 2, tapi hampir setiap malam saya merayu-rayu adik saya, @firrywahid untuk nebeng di kamarnya tidur, selamat tinggal gengsi, selamat tinggal harga diri demi bisa tidur tenang saya rela tidur beralaskan kasur lipat sementara adik saya  mengorok dengan angkuh di atas tempat tidurnya yang nyaman.
Waktu kuliah di depok sebenarnya saya pulang pergi dengan kereta jabotabek, sampai suatu hari, saya pengen ngerasain jadi anak kos, jadilah memutuskan untuk ikut-ikutan kos. Tapi, berhubung saya masih takut tidur sendirian, saya merayu sahabat saya untuk memilih kamar berdua dengan saya. 
Masalah tidur sampai masa kuliah plus masa awal-awal jadi pegawai bisa berlangsung dengan selamat, walau saya terkadang harus menelan rasa malu saat memohon-mohon nebeng di kamar adik atau orang tua saya. 

Masalahnya adalah ketika saya dapat kesempatan (alias dapat beasiswa) ke Jepang, memang sih saat pertama kali saya tinggal di Jepang itu saya homestay di rumah keluarga Jepang di perfektur Tottori, yang artinya saya nggak sendiri-sendirian amat. Tapi misalnya suatu malam saya tiba-tiba ketakutan dan nggak bisa tidur, saya kan nggak mungkin gedor-gedor kamar host parents saya untuk nebeng tidur. 
Yah, tapi masa karena rasa takut ini saya harus batal ke Jepang, ya ? Bismillah saja, akhirnya saya mantap pergi ke Jepang... 
Beberapa malam pertama saya di Jepang dan tidur di rumah keluarga angkat saya ini, saya tidak menemukan kendala yang berarti, mungkin juga di hari hari pertama itu banyak hal baru yang harus saya kerjakan jadi saat malam datang saya langsung tertidur pulas, nggak sempat untuk merasakan rasa takut. 
Masalah terjadi ketika tepat seminggu saya tinggal di rumah keluarga angkat. Ibu dari ibu angkat saya yang tinggal di Kagoshima (pulau Kyushu) mengalami stroke sehingga kedua orang tua angkat saya harus segera berangkat ke Kagoshima untuk menengok si nenek. Sebenarnya, ada adik-adik angkat saya, tapi berhubung saat itu mereka masih SMP dan SMA, sementara saya juga belum terbiasa dengan kehidupan di Jepang, orang tua angkat saya memutuskan untuk menitipkan saya di rumah kenalannya yang pernah lama tinggal di luar negeri dan mahir berbahasa Inggris, jadi diasumsikan mengatasi masalah komunikasi yang mungkin terjadi, berhubung saat it kemampuan bahasa Jepang saya ada dalam level memprihatinkan.

Sekilas memang solusi ini merupakan solusi yang terbaik untuk kami semua. Saya ada tempat 'berlindung' selama orang tua angkat saya pergi, ortu angkat saya bisa dengan tenang mengurus si nenek tanpa kepikiran anak Indonesia yang nebeng hidup di keluarga mereka, adik-adik angkat saya juga nggak terbebani harus ngurus orang asing yang gak jelas di rumah mereka. 
Jadilah, saya+orang tua angkat saya berangkat dalam misi 'mengungsikan' saya ke rumah si kenalan. Masalah terjadi ketika saya tahu 'lokasi pengungsian' saya tersebut. 

Tottori perfektur yang saya tinggali ini terletak di barat Jepang ini, merupakan perfektur yang sangat kecil di Jepang dengan jumlah penduduk yang paling sedikit. Tottori-shi tempat orang tua angkat tinggal, merupakan ibukota dari Tottori perfektur. Jadi, Tottori shi tempat saya tinggal itu merupakan daerah terbesar dan teramai di Tottori perfektur. Tapi buanglah jauh-jauh bayangan tentang Jepang yang kita dapat dari drama-drama Jepang macam TokyoLove Story. Sedikitnya, bayangan saya akan Jepang (Tokyo) adalah gedung-gedung pencakar lakit yang megah, orang-orangnya yang stylish selalu bergerak dengan tergesa-gesa dan subway+train yang penuh dan sibuk. Di Tottori hampir bisa dibilang tidak ada gedung-gedung tinggi, gaya berpakaian mereka memang cukup fashionable tapi nggak ada tuh orang yang tergesa-gesa, semua terlihat santai dan nggak ada subway+kereta canggih di Tottori. Ada sih kereta untuk transportasi umumnya, tapi jumlah kereta yang lewat kurang lebih 1~2 jam sekali. Bandingkan dengan Tokyo yang kereta akan datang setiap beberapa menit sekali. Kereta di Tottori boro-boro canggih untuk buka pintu keretanya saja kita harus buka sendiri, alias keretanya nggak otomatis... 

Kembali ke lokasi pengungsian saya, ternyata saya diungsikan di daerah bernama CHIZU (智頭), masih berada di Tottori perfektur, sekitar 2 jam berkendara mobil dari Tottori-shi, lokasi tepatnya adalah di sebuah desa, di pegunungan. Benar-benar di pelosok. Kalau ingat dengan film Oshin kurang lebih desanya seperti itu.  
Saya diantar ke sebuah rumah kuno Jepang yang super besar. keluarga kenalan orang tua angkat saya ini menyambut saya dengan sangat ramah. Di rumah itu tinggal pasangan suami istri kenalan ortu angkat saya, ibu dari si suami dan anak mereka. Hanya berempat di rumah yang super besar dan terbuat dari kayu-kayu kuno berwarna coklat dan memberikan kesan 'dingin ini. Senyum+cengiran khas saya perlahan tapi pasti hilang dari wajah saya. 
Si istri, yang ternyata pernah tinggal di Afrika Selatan+Mauritania ini, menenangkan kalau selama keberadaan saya di rumahnya saya akan baik-baik saja. Karena memang saat itu masih masa liburan dan belum ada mata perkuliahan, dia meminta saya untuk menganggap ini sebagai satu liburan. Saran yang sangat baik. 
Saya dibawa berkeliling rumahnya, berjalan menuju lorong yang panjang dengan deretan pintu-pintu kecoklatan yang terlihat suram, saya ditunjukkan tempat makan yang terkesan 'kosong' hanya dengan sebuah meja berkaki pendek yang panjang sekali, ditunjukkan dapurnya yang juga super besar, ofuro (tempat mandi) , juga toilet. Kalau sekarang kita tau tipe toilet Jepang yang sangat canggih dengan segala pencetan untuk mengatur ini-itu, siapapun pasti akan terkaget kaget melihat toilet di rumah ini. Buang jauh-jauh pikiran bayangan tentang toilet duduk yang canggih-canggih itu. Toilet di rumah ini berupa toilet jongkok tanpa keramik.warna cerah. Di kamar kecil  (terpisah dari kamar mandi)  ada toilet yang ditandakan dengan sepasang pertanda pijakan kaki yang berwarna suram, dan 'gundukan' yang juga berwarna suram yang merupakan pertanda kita harus menghadap ke mana ketika mau 'do our business'. Di dalam si 'toilet tersebut' nggak ada genangan air seperti yang biasa kita temui di toilet duduk maupun jongkok. Ketika kita melongok ke dalam toilet tersebut hanya ada lobang yang dalam seperti sumur. Jadi, ketika kita selesai melakukan hajat di sini baik hajat kita maupun kertas tissue yang dipakai untuk mengelap akan dibuang melalui lobang tersebut yang ternyata langsung menjadi tempat pembuangan sampah. 
Salah nggak sih kalo saat itu saya membayangkan ketika saya sedang asik-asik di toilet itu tiba-tiba keluar sadako dari lobang yang mirip banget dengan lobang sumur tapi lebih kecil dan kosong tanpa air. 
Untungnya selama saya tinggal di sana hal itu tidak pernah terjadi. 

'Gong'nya adalah ketika saya diantar ke kamar yang akan dipakai saya tidur. Menurut cerita si istri sambil mengajak saya kembali menelusuri lorong-lorong suram rumah itu, kebiasaan di daerahnya ketika kedatangangan 'tamu istimewa', si tamu akan ditempatkan di tempat yang istimewa juga. Saya excited membayangkan saya akan diantar ke kamar istimewa tersebut. Kami sampai di depan sebuah kamar yang terlihat besar. Si istri menggeser pintu kayu tua berwarna coklat tua dan dengan bangga dia memperlihatkan si kamar istimewa tersebut. Taraaaa!! Dan masukklah kami ke sebuah kamar yang luas dengan butsudan (altar budha) yang besar. Di tengah kamar yang sangat luas tersebut sudah tergelar futon (kasur) dengan motif cantik khas Jepang. Futon yang terlihat bagus dan mahal tapi sangat tidak sesuai diletakkan tepat di tengah-tengah kamar yang luas ini, buat saya yang penakut ini futon yang tepat berhadapan lurus dengan altar budha ini memberikan kesan yang sangat mencekam.
Belum berakhir dengan futon yang mencekam, ketika saya melihat ke sekeliling tembok di sana terpajang foto-foto para leluhur keluarga ini. Foto-foto para leluhur yang entah lahir tahun berapa dan yang pasti namanya leluhur, mereka yang terpampang di foto tersebut adalah mereka yang sudah meninggalkan dunia fana ini. Si istri dengan penuh kebanggaan sekilas menjelaskan silsilah keluarga mereka.
Tapi tidak satupun penjelasan itu masuk kepala saya... Saya pengen nangis, pengen lari dari kamar itu, pengen lari dari Chizu, kembali ke rumah saya di billymoon tidur di kamar saya di lantai 2, atau kembali merayu-rayu adik saya untuk bisa tidur di lantai kamarnya. Itulah kali pertama saya merasakan kerinduan yang besar sejak saya tinggal di Jepang. 

Malam pertama di pengungsian sehabis mandi di kamar mandi yang juga bikin bulu kuduk berdiri, saya berjalan menyusuri lorong dingin nan suram dan masuk ke dalam kamar yang bikin saya kebat kebit ketakutan. Tapi memang, ternyata manusia sebenarnya punya kekuatan dan keberanian yang tidak pernah disadarinya ketika kita berada dalam kondisi 'tertekan'. Malam itu dengan rambut masih separuh basah sehabis mandi, saya masuk ke dalam kamar itu lagi dengan mengucapkan 'Assalamu'alaikum' sambil separuh mengangguk ke deretan foto-foto di dinding. Iya, saya tau sih almarhum-almarhum Jepang itu pasti nggak ngerti juga saya ucapkan salam Assalamu'alaikum walau dengan gaya separuh membungkukkan badan khas orang Jepang. Tapi yang kepikiran ya cuma itu! 
Setelah itu saya sholat Isya dan diam-diam sambil separuh menahan tangis karena bayangin pasti nanti malam dan nggak bisa tidur (selain penakut saya juga cengeng), saya buka travelling bag saya, mengambil buku Yassin dan mulai membacanya. Ya saya nggak tau sih di saat seperti itu tepat atau nggak baca Yassin, tapi yang saya bawa saat itu kebetulan ya buku Yassin dan setelah membacanya saya jauh merasa lebih tenang. 
Selesai baca Yassin, saya mencoba membaringkan badan saya di futon yang ternyata sangat nyaman, dan sambil baca-baca saya mencoba untuk tidur. Alhamdulillah saya bisa tertidur, tapi di tengah malam saya terbangun karena pengen pipis, ketika terbangun untuk pertama kalinya itu, cukup kaget juga karena pemandangan tepat di depan saya adalah deretan foto leluhur, noleh ke kiri ada altar budha, noleh ke kanan foto-foto leluhur yang lain. Hoaaaaa....!! Tapi dari pada ngompol di futon spesial itu, saya memberanikan diri keluar dari futon, jalan di lorong, dan pipis di toilet dengan lobang yang dalam itu. Alhamdulillah, Sadako nggak muncul!

Sejak keberhasilan malam pertama yang ternyata nggak ada apa-apa, saya jadi lebih pede di malam-malam selanjutnya, meski begitu setiap habis sholat Isya saya nggak pernah untuk baca Yassin di kamar altar budha itu. 
Demikianlah cerita (nyaris) #memetwit dari saya. 






2 komentar:

  1. Dear Vita san,

    Aku juga sebenarnya sedikit penakut orangnya. Waktu tinggal selama dua bulan di Jepang tahun 2010 kemarin, aku juga tinggal di apartemen sendirian dan sempat kepikiran berani gak ya tinggal di apartemen sendirian. Malam pertama di sana, alhamdulillah karena kecapekan malah tidurnya nyenyak banget dan gak kepikiran apa apa karena seharian itu dari pagi habis mendarat di Jepang sampai malam sibuk dengan berbagai kegiatan. Tetapi, karena masih ada sedikit rasa takut, khawatir, dan belum terbiasa, seminggu pertama lampu tetap nyala saat tidur. Tetapi setelah lewat seminggu, alhamdulillah lampu udah bisa dimatiin saat tidur seperti kalau di sini. Dan alhamdulillah selama dua bulan tersebut gak ada kejadian-kejadian aneh ^^
    Kalo ingat-ingat zaman tinggal sendiri di apato tersebut, suka kangen banget pengen ngerasain lagi tinggal di apato, ngurusin semua sendiri, dan benar-benar enjoying my "me time". Walaupun pastinya kadang-kadang timbul rasa kesepian, tetapi lebih banyak rasa enjoy dan senangnya :D

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah ya gak ada yang aneh2.. gak kebayang kalo penakut kayak kita gini dikasih suguhan yang aneh2 apa jadinya ??

    BalasHapus